
Thursday, January 7
Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas) Fasli Djalal mengatakan, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) membutuhkan simulasi-simulasi industri guna menjaga keselarasan dunia pendidikan dengan dunia industri.
“Kalau mau serius , kita harus melihat tahapannya, karena industri sekarang kan makin canggih, dia tidak mau ada orang bermain-main di dalam siklus produksinya. Jadi untuk itu, perlu ada simulasi industri yang ketat di sekolah (SMK),” terang Fasli di dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (7/1).
Dikatakan, simulasi industri tersebut bertujuan agar para siswa SMK mendapatkan pengetahuan tentang budaya kerja, kondisi riil di industri, dan penguasaan teknologi. “Kita mencoba memperbanyak simulasi-simulasi di SMK dengan unit produksi, kemudian merangsang daerah dengan dinas-dinas terkait,” imbuhnya.
Menurutnya, jika sinergi industri dengan SMK melalui unit-unit produksi dapat terjalin dengan baik, maka kondisi link and match dunia pendidikan dengan dunia industri dapat terwujud. Fasli mencontohkan, siswa-siswa SMK dapat dilibatkan dalam kontrak untuk pemeliharaan mobil dinas dan mebeler.
"Bukan sekedar mendapatkan harga yang lebih murah, tetapi SMK terlibat dalam membandingkan harga, menjamin kecepatan produksi, kualitas, dan kepuasan konsumen. Nah ini kan memerlukan satu kerja terus menerus. Jadi menurut saya ini yang harus kita revitalisasi lagi sebelum kita punya undang-undang sendiri," ujar Fasli yang telah resmi dilantik menjadi Wamendiknas oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada Rabu (6/1) kemarin.
Sebelumnya Fasli pun juga pernah mengungkapkan bahwa kelemahan yang ada saat ini karena belum adanya undang-undang yang ‘memaksa’ dunia usaha untuk membuka pintu kepada anak-anak SMK. Akibatnya, kata dia, SMK yang dekat dengan kota dan pusat industri menjadi maju karena akses yang dekat dan tanpa biaya yang terlalu besar. “SMK-SMK yang tidak punya dukungan seperti itu pengalaman prakteknya sederhana saja,” tukasnya. Hal tersebut, lanjutnya, menyebabkan ketimpangan yang besar di SMK.
Fasli menyebutkan, hanya di Jerman yang memiliki undang-undang sebagai rujukan mengharuskan dunia industri untuk bersinergi dengan dunia pendidikan. “Kalau tidak jelas sistem insentif dan disinsentifnya, sementara undang-undang tidak ada, mulai lemah dan apa adanya saja, maka hilanglah nuansa link and match itu,” jelasnya. (cha/jpnn)
sumber : http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=56106
Labels: download software, sorotan berita